Sunday, October 4, 2015

Posted by adrianizulivan Posted on 2:57:00 AM | No comments

Masih Pakai Batik-batikan?

Akhiran –an pada kata benda kerap digunakan untuk menjelaskan barang tiruan atau palsu. Misalnya mobil-mobilan, rumah-rumahan dan seterusnya. Meski ini tidak berlaku untuk semua benda, seperti sayur dan buah. Jika kata “batik” diberi imbuhan –an dan berbentuk kata ulang, maka anggaplah artinya: batik palsu.

Aku yakin, lebih dari setengah warga Indonesia yang sejak 2009 lalu sibuk memborong batik untuk seragam Jumat, tidak tahu apakah benar ada batik palsu. Atau juga, sama sekali tidak paham apa itu batik. Sama lah denganku, sekitar enam tahun ke belakang sampai hari kelahiran. Aku cuma tahu bahwa kain panjang bermotif yang sering digunakan pengasuh untuk menggendongku, adalah batik. Begitu juga baju Korpri yang dipakai papa.

Sedikit cerita sejarah batik. 

Ada konsep “catur gatra tunggal” dalam tata kota-kota kerajaan di Jawa. Konsep ini membentuk pusat kota dengan berbentuk segiempat yang di masing-masing sisi ditempatkan institusi penting negara, yaitu kraton/kediaman raja, masjid besar, pasar besar, dan kampung ulama. Keempatnya mengelilingi sebuah lapanganluas yang disebut alun-alun. Konsep ini juga masih diadosi oleh kota-kota baru di Jawa, dengan menggantikan kantor bupati atau camat atas penempatan kraton.

Keempat institusi ini milik kerajaan. Masjid, kampung ulama dan pasar berperan untuk mendukung kehidupan kraton. Masjid adalah simbol agama yang menguatkan posisi kraton sebagai bagian dari kepercayaan masyarakat. Kampung ulama atau dikenal dengan Kampung Kauman, menjadi pendukung dan pengelola yang menghidupi masjid besar. 

Di kampung ini pula muncul pengusaha yang membuat batik untuk keperluan pakaian kraton, batik kala itu menjadi salah satu komoditi terbesar kerajaan. Pasar besar selain berfungsi sebagai alat menyejahterakan rakyat, juga menjadi tempat transaksi jual beli untuk batik yang diproduksi warga Kampung Kauman.

Batik memiliki peran besar dalam sejarah nusantara, terutama Jawa bagian tengah. Kerajaan dalam hal ini Kraton pun menciptakan beragam motif yang disesuaikan dengan peruntukan. Ada batik untuk keluarga kerajaan, ada untuk warga biasa. Ada untuk pakaian sehari-hari, ada untuk dikenakan pada acara resmi kraton; dan seterusnya.

Jika kini batik ada di nyaris seluruh wilayah tanah air, aku sih menyalahkan pemerintah yang membuat pelatihan membatik di banyak daerah, hingga menghilangkan varietas kerajinan seni lokal. Apalagi batik yang dibuat dengan teknik printing, seperti produk batik Kalimantan atau Papua.

Ada yang meyakini bahwa batik bukan berasal dari nusantara, melainkan Tiongkok yang dibawa oleh para pedagang. Salah satu buktinya adalah pemakaian kain bermotif dewa-dewa yang biasa menjadi alas altar sembahyang warga Tionghoa. Kain-kain ini dibuat dengan teknik membatik. Aku lebih senang menggunakan versi nusantara, yaitu batik sebagai buah karya masyarakat Jawa, sebab bagiku ini hal membanggakan.

Teknik membatik adalah teknik membuat titik. Men-tik, dalam istilah Jawa di jaman itu, berarti menitik, membuat titik-titik. Menciptakan motif batik memang dimulai dengan membuat titik-titik, hingga membentuk motif tertentu. Pembuatan titik-titik ini dilakukan dengan canting sebagai ‘pulpen’ dan malam sebagai ‘tinta’. Malam merupakan bahan yang terbuat dari bahan sejenis lilin, makanya disebut juga dengan lilin batik. Jika kain yang kamu beli tidak berbau malam, dapat dipastikan itu bukan batik.

Salah satu penanda bahwa sehelai kain adalah batik, bisa dilihat dari proses pengerjaannya yang menggunakan malam itu. Selain batik tulis, batik cap juga menggunakan malam. Jadi kata orang-orang yang ngerti batik: Cap masuk juga lah ke dalam definisi batik, sebab masih ada proses men-tik dengan malam.

Kini ada tiga jenis batik yang beredar di pasaran—ini menurut versi pedagang ya, bukan versiku. Pertama, batik tulis yang sudah kita obrolin di atas. Kedua batik cap yang juga sudah disinggung; dan ketiga batik printing. Nah, jangan pernah percaya pada versi ini. Batik cuma ada dua jenis: tulis dan cap.

Mengapa kain printing bukan batik? Sebab tak ada proses men-tik dalam pembuatannya. Artinya, tak ada pula malam yang melukis lembarnya. Ya tentu saja, ketika di-print dengan printer atau pencetak, maka akan menggunakan tinta tekstil dan tanpa proses men-tik. Jadi, mari menyebut jenis ini dengan “kain bermotif batik”, bukan “batik printing” sebagaimana penyebut awam yang kerap kita dengar.

Aku pernah mendengar seorang pedagang celana pendek di Pasar Bringharjo Yogyakarta, yang berhasil menipu pembeli. “Mengapa motifnya enggak rapi?” tanya pembeli. “Ini yang namanya lilin untuk membatik bu, seperti inilah batik asli,” jawabnya. Ya ampun, rasanya pengen datangi pedagang itu... tapi saya urungkan. Ya masak celana pendek buat dipakai tidur seharga Rp 25.000 itu adalah batik asli? Duh!

Pariwisata sebagai garda terdepan pengenalan budaya, malah ‘dikooptasi’ oleh segelintir warga lokal (dalam hal ini pedagang) yang akan menerima mentah informasi yang diperolehnya. Maka tak heran jika ketika kembali ke bus-bus yang membawa mereka dari kota asal, para wisatawan ini akan memamerkan hasil belanjanya: Aku dapat batik murah, asli, cuma 25 ribu!

Kolega kerjaku yang datang dari Amerika Serikat, memamerkan baju-rok barunya. Sumpah, saat dia berbinar-binar karena telah memiliki batik sebagaimana kebanyakan rakyat Indonesia, aku enggak sanggup untuk mematahkan kebahagiannya dengan: Halo, itu bukan batik, itu adalah bla bla bla... Apalagi, dia membelinya dengan harga yang tak murah di tempat yang kusarankan.

Ada sebuah etalase wastra nusantara di galeri Alun-alun Nusantara di Grand Indonesia, salah satu pusat perbelanjaan termegah di negeri ini. Jika ada wisatawan mancanegara yang ingin membeli batik di Jakarta, aku pasti mengarahkan ke sana. Sebab Pasar Tanah Abang dan International Trade Center (ITC) tidak terlalu nyaman untuk berbelanja santai. Sayangnya, galeri itu juga menampilkan lebih banyak batik-batikan dan tenun-tenunan bermotif wastra nusantara dibanding batik. Kecewa? Tentu saja. Jika sekelas Tanah Abang dan seluruh ITC di Jakarta saja rasanya tak bisa dimaafkan karena memberi pengetahuan sesat tentang warisan budaya bangsa, apalagi sekelas Alun-alun Indonesia ini! 

Jika terus menjual barang palsu bertopeng warisan budaya, tanpa disadari kita sedang menghilangkan jejak peradaban budaya Indonesia di muka bumi. Tak hanya batik, juga tenun yang tak lagi melewati proses menenun. Semua keluar dari mulut-mulut mesin industri garmen. 

Tapi itu kan juga produksi dalam negeri? 
Sekarang memang banyak batik-batikan dan tenun-tenunan yang justru diproduksi di negeri sendiri. Jadi enggak usah menyalahkan banjir barang Cina deh, kita sendiri tak tahu cara menghormati warisan nenek moyang kita sendiri. Ironis sekali.

Tahukah kamu, celana pendek seharga Rp 25.000 itu membuat seorang janda di Lasem, kota kecil di Jawa Tengah, kehilangan mata pencaharian untuk memberi makan ketiga anaknya. Tahukah kamu, sebuah industri batik rumahan di Madura terpaksa gulung tikar akibat harga per lembar batik tulis yang mereka bikin berhari-hari itu, hanya dihargai Rp 50.000 per potong. Tahukah kamu?

Mengapa batik asli tidak mungkin murah? Sebab prosesnya tidak secepat produksi mesin. Coba bayangkan jika kamu harus men-tik selembar kain. Lelehkan malam, tiup-tiup canting, oles titik-titik ke kain, celup lagi malam, tiup-tiup, hingga proses ‘memasak’ kain, ngelorot, mewarnai, dan sebagainya. Kira-kira kamu perlu berapa bulan untuk satu kain? Oh, tahunan?

Jika kamu punya waktu luang, coba kunjungi galeri seni. Cek harga barang-barang yang ditawarkan di sana. Untuk sebuah goresan abstrak yang enggak jelas maknanya saja, bisa dibanderol jutaan rupiah yang buat orang awam enggak masuk akal. Nah batik sebagai karya seni, juga begitu. Kita harus membayar mahal untuk proses kreatif yang dilakukan untuk membuat apa yang dinamakan batik.

Berarti batik hanya diperuntukkan bagi kalangan berduit? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Jika yang bilang begitu rombongan warga yang datang ke kawinan keluarganya naik bak truk, saya bilang oke lah jika mereka mengenakan kain bermotif batik itu. Jika yang bilang begitu adalah kamu, iya kamu yang baca ini, saya kutuk kamu jadi miskin, sebab beli pulsa internet kok mampu, hargai karya anak bangsa ogah.

Jadi, masih mau pakai batik-batikan?

Aku sih malu, sebab saya tahu proses apa yang dibuat untuk sebuah kain agar ia menjadi batik. Mestinya kamu juga malu, jika setelah membaca ini masih membeli batik-batikan dan tenun-tenunan itu. Rasa malunya sih, sama dengan membeli CD dan VCD bajakan untuk karya-karya seniman tanah air. 

Aku sih, malu!

Foto dari sini.

Mlekom,
AZ



Categories:

0 comments:

Post a Comment

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata